Pages

Subscribe:

Makna Di Balik Derita . . .

dicopas oleh uqi_mystar
Seorang psikiater asal Austria, Victor Emil Franklin (1905-1997), pernah dipaksa hidup di kamp konsentrasi NAZI. Ayah, ibu, saudara dan istrinya dibunuh semua. Ia sendiri dipaksa menyaksikan berbagai bentuk penyiksaan dan penderitaan. Satu hal yang ia amati dalam pengalaman tragis itu adalah banyaknya tawanan yang meninggal dunia karena ketakutan dan putus asa, bahkan sebelum disiksa. Sementara ada sekelompok tawanan yang disiksa bagaimanapun, dalam penderitaan seperti apapun, mereka tetap tegar bertahan dan bahkan akhirnya selamat seperti dirinya.

Orang-orang yang bertahan ini kemudian diteliti oleh sang psikiater. Dan ternyata ditemukan fakta mereka bisa bertahan karena mereka memiliki
meaningful life. Mereka bisa menemukan makna di balik penderitaan. Mereka bisa mengatasi ketakutan karena ada makna di balik ketakutan tersebut. Dalam bahasa Nietzsche, "If you know the why, your can bear any how." Jika Anda tahu untuk apa Anda menderita, maka Anda akan bisa menahan penderitaan seberat apapun.

Cerita di atas benar-benar menginspirasi kita untuk memberikan makna terhadap segala hal yang terjadi pada diri kita terutama hal-hal yang tidak enak dengan sebuah gambaran yang menyenangkan. Setiap hari silih berganti datang sesuatu yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Kebanyakan kita akan tertawa apabila menemukan kebahagiaan dan sebaliknya akan menangis apabila menemukan hal-hal yang menyedihkan. Itu tidak keliru karena orang pada umumnya memaknai sesuatu persis seperti yang dirasakan oleh perasaan pada saat itu.

Namun apabila kita memaknai sesuatu seperti yang dilihat dan didengar dan dirasakan apa adanya maka akibatnya hidup kita akan sangat rentan untuk berubah setiap saat. Pagi hari mendengar kabar mendapat hadiah, langsung gembira tiada tara. Beberapa jam kemudian mendengar keluarga ada yang sakit langsung menangis. Sore hari bisa jadi tertawa kembali, dll.
Teman-teman netter, hidup kita dibagi dua; yang pertama hidup jangka pendek dan yang kedua jangka panjang. Agar kita memiliki pola hidup yang konstan, semangat yang stabil dan mental yang kokoh, maka setiap orang harus membuat rancangan dan gambaran hidup di akhir nanti akan seperti apa.

Ada sebuah contoh sederhana. Seorang ibu yang hamil selama 9 bulan, bukan tanpa penderitaan. Di awal-awal kehamilan biasanya struktur faal tubuh berubah, dengan sendirinya kimia tubuh pun mempengaruhi fisik secara langsung. Ada rasa mual, rasa tidak nyaman, muntah, enggak enak badan, dll. Bulan semakin berjalan, bukannya tidak ada risiko tambahan, beban pun semakin bertambah. Tapi mengapa seorang ibu tetap masih bertahan dan bahkan tersenyum ketika hamil? Itu karena dia membayangkan bayi mungil yang lucu sebentar lagi akan menemani dia dan menjadi teman hidupnya. Harga kehamilan 9 bulan dengan diiringi rasa sakit dan tidak nyaman nyaris tidak terasa karena memiliki makna lain.

Ada contoh lain. Seorang ayah nekat masuk ke dalam kobaran api yang sedang menyala. Ia langsung masuk tanpa tanya sana sini. Ternyata dia mau menolong anaknya yang ada di dalam rumah yang terbakar tersebut. Bagi kita yang tidak memiliki niat di balik kenekatan tersebut, rasa-rasanya tidak akan coba-coba mendekati api yang sedang berkobar. Dan banyak lagi cerita-cerita lain yang menunjukkan heroisme dan secara logika tidak masuk akal orang tersebut melakukannya.

Kalau dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari, kita pun bisa melakukan hal-hal yang "agak nekat" tersebut untuk kepentingan dan kebaikan kita di masa mendatang. Seseorang yang bekerja sangat disiplin, bangun pagi-pagi, berangkat ke kantor, mengadakan rapat, pergi menemui klien. Sore harinya rapat kembali. Dia lakukan berulang kali setiap hari. Ada dua kemungkinan reaksi karyawan yang melakukan rapat dan disiplin tiap hari. Karyawan pertama akan merasa terbebani karena merasa lelah dan capek. Sementara karyawan kedua merasa sangat semangat karena dia sadar dia akan mendapatkan reward atau penghargaan dari perusahaannya.

Kasus para pekerja Jepang pun menjadi contoh lain yang patut ditiru. Di Jepang, mereka memang memiliki jam kerja yang sama dengan di Indonesia, 8 jam, istirahat 1 jam. Tapi bukannya 8 jam - 1 jam, di sana 8 jam + 1 jam istirahat. Alhasil jam kerja totalnya adalah 9 jam. Hanya memang ketika bekerja, mereka benar-benar bekerja, tidak lagi dibarengi dengan kegiatan lain yang tidak mendukung pekerjaan. Sementara orang Indonesia, ketika jam kerja masih menyempatkan diri untuk berleha-leha, apakah merokok, ngegosip dan ngobrol dengan teman-temannya. Para pekerja di Jepang pun memiliki makna bahwa dengan bekerja mereka memiliki harga diri dan kebanggaan yang tinggi karena bisa membangun negaranya lewat pekerjaan dia. Tidak heran dengan semangat bekerjanya, Jepang menjadi negara yang sangat diperhitungkan di dunia.

Satu contoh lagi yang bisa dijadikan analogi betapa penderitaan yang kita alami bisa memiliki makna yang sangat dalam. Hal ini terjadi pada orang yang berpuasa. Logikanya tubuh membutuhkan nutrisi untuk aktivitas dan kegiatan sehari-hari. Tapi karena ingin meraih sesuatu makna yang lebih dalam, seseorang melakukan puasa seharian, tidak makan, tidak minum. Hanya kekuatan makna di balik puasa tersebut sajalah yang bisa membuat seseorang bertahan dan bahkan gembira menjalankan puasa. Bahkan sebagian orang sama sekali tidak merasakan lapar atau haus secara berlebihan karena sudah biasa.

Pertanyaan selanjutnya, apa tujuan Anda di masa mendatang? Apakah Anda benar-benar yakin bahwa tujuan hidup tersebut memberikan arti yang sangat dalam bagi Anda? Kalau YA, pasti Anda akan mau membayar harganya, apapun tidak ada tawar menawar. Ini bukti dari kesungguhan seseorang untuk mengejar makna yang berefek pada eksistensi diri dan harapan yang akan datang. Semua pekerjaan menjadi sangat ringan ketika ada pemaknaan di balik penderitaan.